Sarung Batik dan Semangat Tri Sakti Bung Karno

Oleh: Wahid Abdulrahman (Alumni Program Doktoral Kajian Asia Tenggara Goethe University Jerman)

Tentu dengan berbagai corak dan motivnya. Apalagi dalam perspektif nasionalisme keindonesiaan, sarung adalah salah satu simbol perlawanan atas kolonialisme.

Tidak jauh berbeda dengan “peci” sebagai identitas kebangsaan yang telah melampaui sekat-sekat suku dan agama. Pada tataran itulah kemudian “batik” menjadi penanda sekaligus pembeda, tidak sekadar sarung tetapi “sarung batik”.

Sekadar informasi, bahwa batik Indonesia sudah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO sejak 2009.

Selanjutnya Tri Sakti Bung Karno menyebut “berdikari bidang ekonomi” yang kemudian banyak ditafsirkan sebagai ekonomi kerakyatan. Membangun kemandirian ekonomi dengan pondasi kekuatan rakyat “wong cilik”.

Tugas pemerintah sudah tentu menciptakan kebijakan yang berpihak atau setidaknya merangsang tumbuhnya ekonomi kerakyatan. Sederhananya pro terhadap UMKM.

Data ASN Pemprov Jawa Tengah baik PNS maupun PPPK per 10 September 2025 mencapai 49.877, di mana laki-laki sebanyak 26.270 orang.

BACA JUGA :  Dilemalisasi Boikot Produk yang Terafiliasi Dengan Israel

Kalau saja 90 persen dari ASN laki-laki tersebut membeli sarung batik masing-masing dua buah dengan harga setiap sarung batik Rp.300.000, maka nilainya mencapai Rp 14,1 milliar.

Angka tersebut tentu akan semakin berlipat apabila jumlah sarung batik yang di beli semakin banyak, dan di ikuti oleh ASN di tingkat kabupaten/kota di seluruh Jawa Tengah.

Mayoritas pelaku industri sarung batik di Jawa Tengah adalah pengusaha UMKM. Dengan demikian, jika skenario ini lancar bukan mustahil dari Jawa Tengah kebangkitan industri sarung batik akan di mulai. Dengan catatan belilah produk UMKM, bukan sarung batik impor! (*)