Meski demikian, pekerjaan rumah masih besar. Hingga akhir 2025, sisa backlog perumahan di Jawa Tengah masih mencapai 1.058.454 unit. Angka ini menjadi pengingat bahwa pembangunan hunian layak adalah kerja panjang, bukan agenda satu tahun anggaran.
Namun, dengan fondasi kebijakan yang sudah terbukti efektif, arah yang jelas, serta kepemimpinan yang mendorong kolaborasi lintas sektor, optimisme tetap relevan untuk dijaga.
Keberhasilan ini menunjukkan, di bawah kepemimpinan Ahmad Luthfi dan Taj Yasin Maimoen, Pemprov Jawa Tengah tidak hanya membangun rumah, tetapi membangun harapan. Hunian layak di jadikan sebagai instrumen pemerataan kesejahteraan. Bukan sekadar proyek angka. Ketika negara hadir hingga ke dinding-dinding rumah warganya, di situlah pembangunan menemukan makna yang sesungguhnya.
“Melihat capaian di tahun 2025, kami sangat optimis untuk program hunian layak bagi masyarakat akan terus meningkat. Dari tahun ke tahun di masa mendatang,” tegas Boedyo.
Sementara itu, Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi menuturkan, program peningkatan hunian layak merupakan fokus pembangunan di Jawa Tengah, terutama untuk mengatasi kemiskinan ekstrem. Program tersebut di lakukan menggandeng stakeholder dengan dukungan APBD provinsi, kabupaten/kota, Baznas, CSR, dan APBN.
“Kami jalankan secara kolaboratif. Kabupaten/kota, provinsi, dan kementerian bekerja bersama. Setiap triwulan kami evaluasi. Hasilnya, kemiskinan ekstrem turun dari 9,58 persen menjadi 9,48 persen, dan pertumbuhan ekonomi meningkat dari 5,28 persen menjadi 5,37 persen di atas rata-rata nasional,” tandasnya.
Capaian tersebut memperlihatkan bahwa kebijakan perumahan bukan berdiri sendiri. Ia berkelindan dengan isu kemiskinan, kesehatan, hingga produktivitas ekonomi. Di titik ini, rumah kembali menemukan maknanya, bukan sekadar bangunan, melainkan fondasi masa depan keluarga.


