Slawi  

Pengamat Lingkungan, TPH Minta Pancuran 13 Gratis

Ia juga menyoroti dampak ekonomi dari sistem tiket atau pungutan. Jika akses ke Pancuran 13 di samakan dengan objek wisata berbayar lainnya, maka yang bisa menikmati hanyalah kelompok masyarakat berpenghasilan menengah ke atas.

“Kalau di gratiskan, justru akan menghidupkan pedagang kecil, penjual tenongan, jagung bakar, mainan anak yang selama ini menggantungkan hidup di sekitar pancuran. Mereka tidak punya modal untuk berjualan di hotel atau vila,” jelas Teguh.

Ekonomi Rakyat Kecil

Menurutnya, penggratisan Pancuran 13 justru dapat menjadi penggerak ekonomi rakyat kecil. Ruang publik yang terbuka akan menciptakan pasar alami bagi masyarakat bawah. Sekaligus memperkuat rasa memiliki terhadap kawasan tersebut.

“Ketika masyarakat merasa memiliki, mereka akan ikut merawat. Ini seperti makam pepunden dalam tradisi lokal, karena merasa itu milik bersama, masyarakat dengan sendirinya menjaga,” beber Teguh.

Sebaliknya, lanjut TPH, ketika akses di persempit dan masyarakat kesulitan menikmati fasilitas yang dahulu bebas di akses. Muncul potensi sikap apatis hingga konflik sosial.

BACA JUGA :  Diduga Korban Tawuran, Pelajar Ditemukan Tewas di Jalan Lingkar Kota Slawi

“Kalau masyarakat kecil terus-menerus di batasi, bisa muncul pembangkangan. Dalam jangka panjang, itu justru berisiko merusak ekosistem dan tatanan sosial,” ujarnya.

Teguh juga mengingatkan bahwa Pancuran 13 secara kultural di yakini sebagai tempat padusan atau membersihkan tubuh, sekaligus padasan atau ritual pembersihan batin bagi masyarakat tradisi. Kapitalisasi kawasan di nilai memutus mata rantai ekosistem sosial, budaya, dan ekonomi yang telah terbangun lama.

Dampak lainnya, kata dia, terlihat dari menyusutnya ruang ekonomi rakyat. Pedagang kecil yang dahulu menjadikan Pancuran 13 sebagai pasar, kini semakin tersisih. Di sisi lain, kawasan Guci perlahan berubah menjadi wilayah bisnis, di tandai dengan meningkatnya harga tanah secara signifikan.