Berbagai jenis tanaman telah ia tanam dan nikmati hasilnya, meski tak seberapa. Ya, menjadi petani di pegunungan erat dihadapkan dengan tantangan, terutama perubahan cuaca tak menentu yang sering kali mengancam hasil panen.
“Sejak 16 tahun saya sudah bertani. Karena dengan menanam menjadi satu-satunya harapan untuk kesejahteraan masa depan,” katanya.
Selama 55 tahun menjadi petani, ibu tiga anak ini banyak diberikan nilai kehidupan, bukan sekadar keterampilan. Karena dengan bertani ia belajar kerja keras, sabar dan bersyukur atas apa yang diberikan alam.
Dengan bertani, Tarmi telah mengentaskan kedua anaknya untuk hidup cukup dan meneruskan budaya bertani sehingga mampu hidup mandiri, karena satu anaknya telah tutup usia.
Tak ada gading yang tak retak, seperti itulah kisah perjalanan bertani Tarmi bersama suami. Dia harus kehilangan separuh jiwanya di tahun 2016 untuk melanjutkan harapan membesarkan ketiga anak perempuan. Sang pujaan hati mengembuskan napas terakhir selang sehari memimpin pertemuan kelompok tani.
Sejak itu Tarmi menggarap ladang seorang diri, tanpa bantuan suami, anak maupun tetangga kanan kiri. Entah ditemani hujan atau terik matahari, wanita yang berusia 71 tahun ini tetap melakukan apa yang sejatinya diajarkan untuk bertahan diri.
Berbekal semangat itu, kini Tarmi telah memiliki lahan belasan petak di berbagai lokasi. Sebagian ia garap sendiri dan sisanya ia sewakan kepada masyarakat yang ingin berdikari menjadi petani. **


