Slawi – Setiap kali banjir besar, longsor, atau kebakaran hutan terjadi, kita menyaksikan pola yang selalu berulang: negara panik, pemerintah daerah sibuk menenangkan warga, pejabat tinggi terbang ke lokasi bencana, bantuan darurat digelontorkan, publik marah di media sosial, lalu setelah itu hening. Hingga bencana berikutnya datang, dan siklus yang sama terulang lagi.
Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia dan curah hujan yang ekstrem, seharusnya bukan hanya siap menghadapi bencana tetapi tangguh mengelolanya. Namun faktanya, kita masih bergerak reaktif, bukan preventif.
Padahal, di tengah perubahan iklim global yang makin tak menentu, kedaruratan kini berubah menjadi kenormalan baru.
Beban Daerah yang Tidak Proporsional
Dalam banyak kasus, daerah menjadi pihak yang menanggung beban paling berat. Anggaran penanggulangan bencana di pemerintah kabupaten/kota sering kali minim, sementara infrastruktur vital seperti tanggul, sungai lintas kabupaten, kawasan hulu hingga hilir memerlukan intervensi lintas pemerintahan. Ketika banjir besar terjadi, kepala daerah menjadi bulan-bulanan publik, padahal sebagian persoalan berada di luar kewenangannya.
Model tata kelola yang selama ini bertumpu pada respons darurat membuat daerah tidak punya ruang fiskal untuk melakukan pencegahan sistematis mulai dari memperkuat DAS, menata tata ruang, hingga mengendalikan konversi lahan.
Negara perlu hadir lebih struktural, bukan sekadar seremonial.
Mengakhiri Politik Penanggulangan Bencana
Kita juga menghadapi masalah lain: bencana sering diperlakukan sebagai ruang politik. Ada publikasi, pidato, kunjungan lapangan, hingga deklarasi besar bahwa pemerintah “siaga” dan “peduli”. Namun yang paling penting justru luput: pembenahan hulu.


