Dari Pantura ke Algoritma

Oleh : Iqbaal Harits Maulana

Menariknya, untuk melompat lebih jauh, para pemuda perlu menyadari satu kenyataan bahwa menunggu terlalu lama uluran tangan pemerintah sering berujung pada lorong birokrasi yang panjang dan melelahkan. Sambil menanti program yang kadang lebih sibuk dengan seremoni, anak muda di Tegal dan Brebes sebenarnya bisa memilih untuk bergerak lebih dulu. Membangun kemandirian digital, menciptakan pasar sendiri, merajut jejaring sebelum kebijakan selesai disusun.

Tentu, semua ini adalah gambaran ideal yang hanya bisa terwujud jika kita berani melangkah sekarang. Peluang di ruang digital sering kali berlari lebih cepat daripada kebijakan di atas kertas. Di sinilah ketajaman membaca tren dan keberanian mencipta makna menjadi jembatan penting. Anak muda harus menjadi penjaga agar teknologi tak menghapus logat ngapak yang kita banggakan, melainkan justru menguatkannya sebagai identitas yang khas di mata dunia.

Pada akhirnya, persoalannya bukan lagi soal seberapa canggih teknologi akan berkembang, melainkan seberapa siap kita menghadapinya. Jika kita membiarkan ruang digital mengatur cara berpikir tanpa sikap kritis, sesungguhnya kita sedang menyerahkan masa depan begitu saja.

BACA JUGA :  Peduli Lingkungan di Ujung Tegalsari

Bagi Tegal dan Brebes, 2026 adalah momentum untuk membuktikan bahwa peradaban jarang runtuh karena kurangnya akses teknologi, tetapi karena manusia berhenti bertanya ke mana arah langkahnya. Di dunia yang semakin digital, kita perlu memastikan bahwa kendali atas arah, rasa, dan makna tetap berada di tangan kita dengan kaki tetap menapak di tanah asal, tempat identitas kita berakar. (**)