Dari Pantura ke Algoritma

Oleh : Iqbaal Harits Maulana

smpantura – Catatan ini dibuka dengan aroma kopi yang kuat, bukan lagi wangi sepet teh poci yang biasanya mengepul dari poci tanah liat. Di sebuah sudut kedai kopi di jantung Kota Tegal, pada penghujung Desember 2025 yang basah oleh sisa hujan, saya duduk memerhatikan riuh rendah muda-mudi di sekitar. Mereka tidak lagi melingkar mengelilingi poci sembari menyeruput teh wasgitel (wangi, sepet, legi, kentel), melainkan duduk berhadapan dengan laptop dan ponsel yang menyala terang. Diskusi kreatif dan tawa tetap ada, namun mediumnya telah berganti. Budaya moci yang komunal dan santai perlahan tergeser oleh budaya ngopi yang serba cepat dan terkoneksi. Di tengah transisi budaya lokal inilah, sebuah refleksi muncul tentang bagaimana ruang hidup kita telah berubah total.

 

Memang tidak ada suara ledakan kembang api atau tanggal bersejarah pasti yang menandai perubahan besar itu. Tahu-tahu, di penghujung 2025, kita sadar bahwa posisi kita sudah bergeser. Kita bukan lagi orang yang menatap layar, tapi orang yang hidup di dalamnya. Ruang digital tak lagi sekadar alat bantu, ia sudah menjelma seperti lingkungan kedua tempat pikiran kita berjalan sejak bangun tidur hingga malam datang. Internet bukan lagi tempat singgah, melainkan dunia baru tempat kesadaran kita berkelana setiap hari. Di kedai kopi ini, meski raga kami berada di Tegal, pikiran kami berpijar di jaringan global yang tak kasat mata.

BACA JUGA :  Adus Nang Sumur Sewu Wulan

Di dunia baru ini, kecerdasan buatan hadir bukan sebagai tontonan dari masa depan, melainkan salah satu infrastruktur berfikir baru. Ia menyelinap ke keputusan-keputusan kecil seperti menyusun laporan, membuat list pekerjaan, sampai menganalisis persoalan rumit. Semua terasa lebih cepat dan efisien. Tapi justru di situlah pertanyaan besar muncul ketika mesin ikut berpikir bersama kita, apakah manusia masih memegang kemudi atas makna dan kebenaran?